Hari ini, Anda Pengunjung Ke :

Minggu, 21 Agustus 2011

PK TM II dan PFP I

Anabanua, Wajo- (20 08) Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PD IPM) Kab.Wajo akan menggelar Pelatihan Kader Taruna Melati II dan Pelatihan Fasilitator Pendamping I ( PFP I ) se-kabupaten Wajo pada tanggal 20-28 Agustus 2011 di Callaccu Kecamatan Maniangpajo, Kab.wajo. Kegiatan ini bertema "Mengungatkan Kader Menuju Peradaban Pelajar”

Menurut Ketua PD IPM Wajo, Asruddin, kegiatan ini akan diikuti oleh sejumlah Pimpinan Cabang se-Kabupaten Wajo. Saat ini sudah ada sekitar 40-an Peserta dari berbagai Cabang sudah memberikan konfirmasi kehadiran, bahkan ada dari luar Kabupaten Wajo dan dari Sulawesi Barat yang mau ikut serta dalam TM II ini

"Dalam pelatihan kader IPM se-kabupaten wajo, kami akan rumuskan kriteria pemimpin bangsa yang diimpikan oleh Pelajar Muhammadiyah se-Kabupaten Wajo. Meskipun dalam perbincangan informal, sebagian besar pimpinan IPM memang lebih condong kefigur yang lebih merakyat", ujar Asruddin

Sementara itu Koordinator Fasilitator PKTM II ini, Muhammad Saiful, menambahkan bahwa kegiatan ini diorientaskan pada proses pematangan kemampuan berpikir kritis dan proses ber-Islam secara kritis dalam merespon tema - tema zaman. "IPM juga ingin mengkristalkan bahwa Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bisa diwujudkan tanpa melepaskan diri dari bingkai ke-Indonesiaan, sebagaimana banyak dipropagandakan oleh berbagai gerakan Islam yang lain", tegas Ipul sapaan akrabnya.

Pemateri yang dijadwalkan akan menyampaikan materi dalam pelatihan tersebut diantaranya, Pimpinan Muhammadiyah Kabupaten Wajo, PW IPM Sulawesi Selatan dan sejumlah tokoh Wajo lainnya. (Ferdy)

Jumat, 12 Agustus 2011

SI CEREWET MAU NIKAH


Cahaya pagi sudah membias dalam kamar tidurku, mungkin embun diluar sana juga telah terhirup oleh cahaya matanna latikka. Suara bebekpun telah terdengar riuh menyonyor endapan makanan dilumpur sawah tepat dibelakang rumah. Berbeda dengan diriku yang enggan beranjak dari empuknya kasur sintetisku. Jangankan menyingkap selimut, untuk sekedar menggeliat pun enggan. Selain karena rasa lelah teramat sangat akibat aktifitas padat selama 18 jam sebelumnya. Enggan menggeliat itu juga karena dua ancaman, menggeliat ke kiri bakal disapa endapan ompolan jagoanku, Rafi. Bergerak ke kanan dipastikan tubuhku akan terhempas sempurna kelantai kamar.

“Ayah, ada tepon suara Rafi sambil berlari masuk kamar.

“makasih ya nak” jawabku sambil menerima telepon bututku itu, Rafipun beranjak dan merangkak hingga baring tengkurap dan manja diperut tambunku.

kak, mauka curhat. Anu kak, itu cowokku yang sastrawan itu, yang pernah ajakki makan sop kaki kambing dulu to, itu yang didepan rumah sakit Segar Waras itu je’e, habis lebaran haji tahun ini maumaka nalamar. Mauki bede’ datang kerumah minggu depan, maumi bede datang sama keluarganya, mauki ketemu orang tuaku.,”, suara itu terus nyerocos.

“eh bagus itu”, kali ini aku berhasil menyela.

“iyye kak, tapi kenapa ya kak kok saya malah ragu dengannya, apa betul saya mencintainya, gimana kak?” kali ini ia bertanya

Nampaknya, pembicaraan pagi ini adalah pembicaraan serius. Segera kuberanjak dari tempat tidurku, dengan tubuh Rafi yang nangkring dipundakku. Berdua menuju teras rumah kontrakan kami sambil terus mendengarkan ocehan si cerewet, si cerewet yang sebelumnya sukses menohokku dengan pertanyaan knock out tentang kekerabatan orang sul-sel di rantau (baca : kekerabatan ala Yogyakarta).

Jamak memang. Jamak kita temui seseorang menjadi ragu dan semakin ragu menjelang acara pernikahannya. Setelah lama menjalin hubungan, tiba-tiba sang pacar berkata “sudah siapkah engkau jika kulamar minggu depan?”. Mungkin hati anda saat itu menjadi ber-flower-flower, serasa mendapatkan emas berlian disaku anda. Selamat, ini berarti anda telah memasuki fase hubungan yang lebih serius, mempersiapkan pernikahan. Semakin mendakati hari H, anda yang tadinya bersemengat mempersiapkan segalanya, kini malah maju mundur, perasaan makin tak karuan. Ada perasaan was-was akan kehidupan yang dijalani nanti tak sesuai harapan. Bagaimana jika lelaki pilihan anda tak sesuai dengan yang dibayangkan. Jangan-jangan yang anda kenal dan rasakan selama ini hanya casing semata, bukan isinya. Is he Mr. Right for me?

Tak peduli ia orang berpendidikan tinggi atau tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Tak peduli ia seorang konglomerat atau “kolongmelarat”, semua orang pasti merasakannya. Tak peduli ia agamawan atau penjahat. Tak peduli ia politikus atau tukang basmi tikus. Ragu itu pasti ada, ragu yang makin memuncak pada malam menjelang akad nikah. Tak ada yang mampu mengelak darinya. Tidak juga dengan adikku, si cerewet yang mendapat gelar “laki-laki yang terkungkung dalam tubuh perempuan”

Hampir 90 menit, si cerewet ini terus bercerita hingga kupingku terasa panas. Rafi sudah menghilang sekitar 60 menit sebelumnya, marah mungkin. Marah karena dicuekin. Maafkan ayahmu anakku. “Sudah saatnya obrolan ini kuakhiri”, pikirku.

“sebentar ndi”, selaku

“iyye kak bicaramaki” ujarnya dari balik telepon

“kita mau tau apa saranku buat kita?” tawarku

“iyye, apakah kak” kali ini nadanya mempersilahkanku bicara

“Jawabanku sederhana ndi, jawab pertanyaanku dengan jujur yah” tuturku dengan nada agak serius

“kita itu ndi, betul-betul mencintai calon suamita atau hanya mencintai caranya mencintaimu?, jawab dengan jujur yah!”

Seketika hening, tak ada suara. Kuyakin ia sedang berpikir, merenungkan pertanyaanku.

“Bee kak, talliwa’ki!” tiba-tiba ada suara berat, antara menahan marah dan isak tangis

“Sudami deh kak, bombe’ki” telepon itupun terputus.

Gantian aku yang duduk terhenyak. Tak terbayang sebelumnya, jika pertanyaanku tadi membuat si cerewet jatuh terkapar dengan pukulan upper cut-ku. Yah aku menang telak, menang KO.

========

Matanna Latikka = Matahari

Tepon = Telepon dalam lafal Rafi

Talliwaki = kakak dah keterlaluan

Bombe’ki = sudahlah, maso bodo’ / saya gak mau lagi bicara dengan kakak

MENGULAS SEJARAH KEMERDEKAAN WAJO


MENGULAS SEJARAH KEMERDEKAAN WAJO
Oleh : Muhammad ferdhy Asdana

Mahasiswa UNM 2011 , tinggal di Anabanua Kecamatan Maniangpajo


Negeri Wajo adalah sebuah negeri yang sangat unik, ia tidak mengenal sistem pemerintahan yang otokratis, melainkan demokratis. Pemerintah dan rakyat Wajo, memahami bahwa Kerajaan Wajo adalah kerajaan yang dimiliki secara bersama oleh pemerintah dan rakyat. Seorang Raja tidaklah diangkat secara turun temurun, melainkan ditunjuk dan kemudian diangkat oleh dewan adat yang disebut Arung Patappuloe (Dewan Adat yang beranggotakan 40 Orang). Rakyat yang dalam bahasa bugis disebut Pabbanua memiliki hak dan kebebasan yang tercetus dalam adek Ammaradekangenna to Wajoe.

Ikhwal pernyataan kemerdekaan orang Wajo, tercetus pada masa pemerintahan Puangnge Ri Timpengeng, jauh sebelum masa ke-Batara-an Wajo terbentuk.[1] Kala itu tersebutlah sebuah negeri yang sangat subur yang kemudian diberi nama kerajaan Boli (cikal bakal kerajaaan Wajo).

Suatu ketika datanglah utusan raja Kedatuan Luwu bernama Opu Balitantre. Untuk menarik Widdatali, sejenis pajak tanaman, namun ketika ia tiba ditengah kerajaan tersebut, heranlah ia melihat rumah penduduk disana, yang tidak menyerupai rumah-rumah di Luwu, ataupun di Gowa. Sehingga ia menjadi ragu, sesungguhnya kerajaan yang didatanginya ini meng-hamba kepada imperum Luwu atau Gowa ?, Keraguan tersebut dijawab oleh Puangnge Ri Timpengeng, raja ke-2 Kerajaan Boli “Ia Taue engkae kkua …, tau kumanengmua jaji, arolanmi ritangnga, Nakko Lantimojong naseng mania’, assaleng Luwu’tu. Nakko Wawokaraeng naseng manai’, Mangkasa’itu”.
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang-orang yang ada disini adalah penduduk pribumi, mereka lahir disini. Mereka memilki hak untuk mengikut kepada siapa saja, jika mereka menunjuk Gunung Latimojong, berarti mereka orang Luwu, jika mereka menunjuk Gunung Bawakaraeng, berarti mereka orang Makassar.

Setelah Opu Balitanre bertanya pada khalayak yang ada di Kerajaan Boli, tidak satupun yang menunjuk Gunung Latimojong ataupun Gunung Bawakaraeng. Hal ini berarti, Orang-orang dikerajaan Boli, adalah orang merdeka, mereka tidak meng-hamba pada imperium Luwu maupun Gowa.

Inilah asas kemerdekaan awal orang Wajo sesungguhnya. Bahkan Menurut keterangan Andi Makkaraka pada tahun 1968, pada masa pemerintahan Puannge Ri Lampullungen, raja sebelum Puangnge Ri Timpengeng asas kemerdekaan itu sudah ada, dengan bunyi “RI LALENG TAMPU’ MUPI TO WAJO’E NAMARADEKA”[2]
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Bahkan sejak dalam kandungan, orang Wajo sudah merdeka”
Dalam catatan lain, pesan-pesan kemerdekaan Wajo, berulang-ulang ditegaskan oleh para pemimpin dan cendikiawan Wajo, seperti :

Pesan Latenri Bali, Batara Wajo I

Setetelah terbentuknya kerajaan Tellu Kajuru’na Boli, maka disepakatilah untuk mengangkat La Tenri Bali sebagai raja dari kerajaan unfikasi tersebut. Sehingga sangatlah wajar jika sosok Latenribali disebut sebagai pemersatu kerajaan-kerajaan kecil di dataran Wajo saat itu[3]. Dengan gelar Batara Wajo I, La Tenri bali mengungkapkan adagium kemerdekaan sebagai berikut :

“Maradeka To Wajoe Taro Pasoro gau’na, naisseng alena, ade’na napopuang”1 [4]
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo itu Merdeka dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya, mereka tahu diri, dan hanya adatlah yang dijadikan anutan.

Pesan Latiringen To Taba

La Tiringen To Taba, adalah salah seorang cendkiawan Wajo yang hidup pada tahun 1436 – 1521. Hidup pada pada masa-masa pemerintahan La Tenri Bali (Batara Wajo I) sampai dengan Wajo I) hingga La Mungkace To Uddamang (Arung Matoa Wajo XI). Selama 55 tahun beliau mengabdi pada Kerajaan Wajo diantaranya pada La Tenri Bali dan La Taddampare Puang Rimaggalatung (Arung Matoa Wajo IV).[5] Beliau adalah Petta Inanna Limpoe (Ibu Rakyat Wajo), bergelar Arung Bettengpola.[6]

Pada tahun 1476, dibawah dua pohan asam yang berdampingan, di maklumatkanlah perjanjian yang dikenal dengan nama Mallamungpatue ri Lapadeppa. Selain menetapkan hukum pemerintahan, perjanjian tersebut juga menetapkan adek amaradekangenna to WajoE, seperti berikut :

1. Kehendak orang Wajo tidak bisa dihalangi
2. Orang Wajo tidak boleh dilarang mengeluarkan pendapat
3. Orang Wajo tidak boleh dilarang pergi ke Selatan, Utara, Barat ataupun Timur
4. Jika orang Wajo hendak bepergian atau bermigrasi maka tidak boleh diatahan
5. Orang Wajo tidak berkewajiban melakukan perbuatan atau perintah yang tidak memiliki dasar hukum adatnya.
6. Orang Wajo boleh ditahan ditanah Wajo, atau diperintahkan diluar hukum adat, hanya jika Wajo diserang oleh musuh atau jika mereka memiliki perkara yang belum diselesaikan di Pengadilan. Jika musuh sudah diusir dan perkara mereka sudah diputuskan pengadilan, maka mereka boleh meninggalkan negeri Wajo.
7. Orang Wajo, harus senantiasa menjaga prilaku dan sopan santun.
8. Orang tidak diperkenankan melanggar hak-hak orang lain, ia harus tahu diri, dan mengenali diri sendiri, serta tidak boleh menyalahgunakan hak-hak kemerdekaan mereka.

Butir-butir adek amaradekangeng tersebut teruntai dalam adagium :

“Napoallebirengngi to WajoE, maradekaE, na Malempu, Na Mapaccing ri gau’ salaE, mareso mappalaong, na maparekki ri warang paranna”. [7]

Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo lebih memilih kebebasan, jujur, bersih dari prilaku buruk, ulet bekerja, dan hemat.

Perjanjian di Lapaddeppa (sekarang Lapaduppa, penulis) tersebut diprakarsai oleh Arung Saotanre yang bergelar Arung Bettengpola, salah satu …. (negara bagian) Kerajaan Wajo selain Talotenreng dan Tua. Sepanjang masa pengabdiannya, sedikitnya 5 kali (setiap kali terjadi kekosongan pemerintahan) beliau ditawari bahkan ditekan oleh dewan adat menjadi Arung Matowa Wajo, tapi selalu ditolaknya, karena tidak mau menghianati isi perjanjian Mallamungpatue ri Lapadeppa.

Pesan Lataddampare Puang Rimaggalatung, Arung Matoa Wajo IV (1491-1521)

La Taddampare Puang Rimaggalatung, adalah salah satu cendikiawan hebat yang dimiliki oleh Kerajaan Wajo, sama dengan La Tiringen To Taba, beliau juga berkali-kali menolak untuk menjadi Arung Matoa Wajo, namun setelah berkali-kali didesak oleh dewan adapt, akhirnya pada tahun 1491 beliau dilantik menjadi Arung Matoa Wajo IV. Sumber lain mencatat, Puang Rimaggalatung sempat dua kali menjabat sebagai Arung Matoa Wajo yakni pada tahun 1482-1487, dan menjabat kembali pada tahun 1491-1521[8], sayangnya penulis belum menemukan catatan tentang latar belakang dari peristiwa tersebut.

Setelah mendapatkan persetujuan dewan adat, Puang Ri Maggalatung menetapkan Hukum adat seperti berikut :

1. Harta benda orang Wajo tidak boleh dirampas.
2. Orang Wajo tidak boleh ditangkap, jika tidak terbukti kesalahannya.
3. Orang Wajo tidak boleh dihukum, jika tidak terbukti melakukan kejahatan, apalagi jika tidak mempunyai kesalahan.
4. Barang-barang atau orang-orang yang serumah dengan mereka, tidak boleh dirampas atau ditangkap, jika mereka tidak sekongkol atau seniat dengan mereka.
5. Siapa saja yang menggali lubang, maka dialah yang harus mengisinya, tidak boleh orang lain. (berani berbuat, berani bertanggung jawab, pen)
6. Orang Wajo tidak diperkenankan menyita barang orang lain, kecuali telah ada keputusan Pengadilan Adat.
7. Orang Wajo tidak diperkenankan saling menanami sawah atau kebun orang lain. (Tidak boleh mengusai tanah orang lain, pen)
8. Tidak saling memfitnah dalam hal terjadi pencurian.
9. Walaupun seorang Putra Mahkota, mengenali suatu barang miliknya yang ada ditangan orang lain, ia tidak boleh langsung mengambilnya tanpa ada keputusan Pemangku adat.
10. Orang Wajo tidak boleh saling memfitnah
11. Orang Wajo tidak boleh menyatakan sesuatu ada, padahal tidak ada.
12. Orang Wajo harus saling percaya dan bersaksi pada Tuhan Yang Maha Esa.

Butir-butir adek amaradekangeng tersebut teruntai dalam adagium :

“Maradeka to Wajo’e najajian alena maradeka, tanaEmi ata, naia tau makketanae maradeka maneng, ade’ assimaturusengnami napopuang” [9]
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo merdeka, dan terlahir dalam kondisi sudah merdeka, hanya tanahlah yang menjadi abdi, setiap mereka yang hidup diatas tanah Wajo memiliki hak kemerdekaan, dan hanya adat turun-temurun yang telah disepakatilah yang dijadikan pengikat.

Mengulang ungkapan dari Puangnge Ri Timpengeng, La Taddampare Puang Rimaggalatung menambahkan asas kemerdekaan orang Wajo dengan bunyi;
“RI LALENG TAMPU’ MUPI NAMARADEKA TO WAJO’E”.[10]
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Bahkan sejak dalam kandungan, sudah merdekalah orang Wajo

Dalam versi lain, adapula ungkapan yang berbunyi; ”Maradeka To WajoeE, najiajian alena maradeka, napoada adanna, napobbicara bicaranna, napogau gau’na, ade’ assimaturusengnami napopuang”[11]
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Merdeka orang Wajo, terlahir dalam kondisi sudah merdeka, mereka bebas mengutarakan pendapat, bebas berbicara, bebas berekspresi, dan hanya adatlah yang mengikat mereka.

Kesemua adagium atau ungkapan kemerdekaan tersebut, kemudian dirumuskan oleh Prof. Mr. DR. H. Andi Zaenal Abidin Farid, sebagai berikut :

ADE’ ASSIMARADEKANGENGNA TO WAJOE[12]

Maradeka To WajoE, najajiang alena maradeka, tanaemi ata, naia tomakketanae maradeka manengngi, ade assamaturusengnami napopuang.
Naia riasengnge maradeka, laje’ tenriatteangngi, lao maniang, lao manoran, lao alau, lao orai’. Mangnganga tange’na Wajo nassu’ ajenamato mpawai massu’.
Mallaja-laja tange’na Wajo nauttama, ajenamato pattamai.

Mallekku tenri pakke’de, tenrirappa, tenrireppung, tenrisampoate’, tenripateppai elo arung mangkau’. Naia pali’na Wajo ri to WajoE teppuppu, tenripinra, tenripaleangi.
Namua naware’ rikoangngi, naiamua napopali, nakkalukkukengngi nalao.
Namua nacappa loli risampakengngi natania napapoli nalajerengngi iarega naoppokengngi, apa ia palina Wajo ri to WajoE, pangaja.

Naia pa’bunona, pakkatuo. Apa ia to WajoE, tempeddingi riuno sangadinna gau’na mpunoi.Temppeddingtoi risalang bicaranna sangadinna gauna memeng, tutunna memeng pasalai. Tenriampa’i ri ada-adanna, iakia naita alena, naissengtoi alena.

Tennapasalaleng ammaradekangenna temppeditoi riatteang mapada eko padana maradeka. Naripatammutoi naripakedde mato narekko nattamaiwi Wajo bali, iaregga engka bicaranna teppura napuraparosokkang balie purapi repettui bicaranna nalajepaimeng nallekku paimeng. Mabbojo-wajo macekkemi to WajoE ri Wajo.

Diterjemahkan oleh Penulis :

Orang Wajo merdeka, dan terlahir dalam kondisi sudah merdeka, hanya tanahlah yang menjadi abdi, setiap mereka yang hidup diatas tanah Wajo memiliki hak kemerdekaan, dan hanya adat turun-temurun yang telah disepakatilah yang dijadikan pengikat.

Merdeka bagi orang adalah, ia bebas pergi kemana ia suka, ia bebas bermigrasi, tidak dilarang ke Selatan, Utara, Timur ataupun Barat. Pintu negeri Wajo terbuka lebar, sehingga mereka bisa meninggalkan Wajo, mereka juga bebas memasuki Wajo kembali sekehendak kaki mereka. Orang Wajo tidak boleh dipaksa, jika mereka tidak mentaati atau tidak melaksanakan sebuah perintah yang tidak ada dasar hukumnya.

Harta benda dan orang-orang yang serumah dengan mereka, tidak boleh dirampas, tidak boleh dikebat, tidak boleh disita, tidak juga ikut dipertanggung jawabkan, jika tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang dilakukan oleh mereka. Kehendak Raja tidak boleh dipaksakan dan ditimpakan secara mutlak kepada mereka.

Peraturan, hukuman atau kewajiban yang telah ditetapkan tidak boleh dirubah atau diganti. Namunn, peraturan, hukuman atau kewajiban sekecil dan sebesar apapun, jika tidak memiliki dasar hukum adapt, maka mereka boleh menolaknya. Karena sesungguhnya amar hukum yang berlaku di Wajo adalah nasehat. Adapun ketetapan hukum yang sesungguhya adalah ketetapan hukum pemilik kehidupan, Tuhan Yang Maha Esa. Karena, sesungguhnya orang Wajo tidaklah boleh dibunuh, kecuali ia membunuh dirinya sendiri dengan aib sebagai akibat dari perbuatannya yang tercela. Mereka, tidaklah boleh dituduh persalahkan kecuali sudah terbukti di Pengadilan, bahwa mereka melakukan perbuatan atau perkataan yang tercela.

Orang Wajo tidak boleh dilarang mengeluarkan pendapat, tapi pada diri mereka terikat ketetapan untuk tahu diri dan mengetahui batasan-batasan dari segala pendapatnya. Mereka, tidak diperkenankan menyalahgunakan kemerdekaannya. Mereka dibebaskan melakukan perjanjian atau kerjasama dengan orang merdeka lainnya.

Orang Wajo boleh ditahan ditanah Wajo, atau diperintahkan diluar hukum adat, hanya jika Wajo diserang oleh musuh atau jika mereka memiliki perkara yang belum diselesaikan di Pengadilan. Jika musuh sudah diusir dan perkara mereka sudah diputuskan pengadilan, maka mereka boleh meninggalkan negeri Wajo. Sesungguhnya orang Wajo, hanya akan merasa tentram jika tinggal ditanah Wajo.

Sungguh sebuah kearifan lokal yang sangat maknawi nan adiluhung, sangat bersebrangan dengan kondisi Wajo saat ini. Pemerintah dan Rakyat tidak lagi segendang sepenarian. Bahkan cenderung menggunkan hukum hutan rimba sebagaimana dalam ungkapan bugis kuno sianre bale tauwwe. Budaya sipakatau, sipakalebbi, sipakainge, kini berubah menjadi sipakatau-tau, sipakalebbi-lebbi, dan sipakalinge-linge. Pesan leluhur untuk saling sirenreseng peru, seperti dalam ungkapan mali siparappe, rebba sipatokkong, malilu sipakainge, kini berubah menjadi malii sipareppa-reppa, rebba sipatongko-tongko, malilu sipakalinge-linge.

Sungguh ironis, dalam lambang pemerintah kabupaten Wajo, tertulis jelas semboyang “maradeka to WajoE ade’na napopuang”. Kini, adagium itu tidaklah lebih dari sekedar coretan yang tertimbung endapan dikedalaman dua puluh tujuh (27) Kilo Meter didasar danau Tempe. Mungkin adagium yang layak kita ungkapkan sekarang adalah “maddareke’ to WajoE, matanre siri’mi nade nappau” atau “madoraka to Wajo, Andi’E-na napopuang”. Tapi apapun itu, saya tetap cinta dengan Wajo saya, seperti orang Inggris berkata “Right or wrong is my country”.

Merengkuh Cinta dalam Buaian Pena

ip-j

Buya HAMKA bertutur : “Tidakkah kau lihat langit biru dengan awan berarak disulam oleh burung-burung, amatlah indah. Atau engkau saksikan lereng bukit yang teramat indah. Atau taman bunga yang mekar beraneka warna dengan harum semerbak, teramat indah. Atau kau dengar suara jangkrik bersahutan, teramat indah. …Mengapa hati yang satu-satunya ini, kau biarkan merana tanpa gelora cinta kepadaNya?”

Ikhwah Fillah! Lihatlah lelaki yang satu ini. Sepanjang hari ia berdakwah. Dari pukul enam pagi hingga pukul enam sore. Tak lagi satu daerah yang ia sambangi, telah berkali-kali gurun pasir ia lalui. Sementara ia masih muda. Sejarah mencatat, umurnya belum genap 20 tahun. Bila malam tiba, malampun ia bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk ibadah, sepertiga untuk MENULIS, dan sepertiga lagi untuk istirahat. Itulah dia Imam Syafi’I muda. Ada ribuan ulama di muka bumi ini. Tapi, ulama yang satu ini benar-benar beda. Tanpa kenal siang dan malam, jari-jemarinya selalu menari bersama pena untuk mengangungkan TuhanNya, menyelamatkan aqidah umat, dan menjaga kehormatan umat. Bila anda bertanya,”Wahai Syaikh, haruskah kami sepertimu?”Dia akan menjawab,”Cukuplah seperti apa yang kau lihat!” Dan ia akan berpesan kepadamu,”Berlelah-lelahlah dalam kebajikan, karena dalam kelelahan itu ada kenikmatan yang sungguh nikmat.” Ulama yang satu ini ketika terbaring di rumah sakit, tiba-tiba datang seorang dokter dengan suara lantang mencegat beliau,”Wahai Pak Tua…, bukankah saya sudah melarang anda membaca buku. Anda harus tahu diri. Anda itu sakit.” Sang Syaikh ini tersenyum,”Terimaksih. Anda sudah mengingatkan saya bahwa saya sakit. Kalau tidak, saya bisa lupa bahwa saya sedang sakit. Begitulah saya mencintai buku. Buku adalah penghibur hidup saya…” Dengan sedikit angkuh, Si Dokter bertanya,”Emangnya, kau sudah membaca seberapa banyak buku?” ujarnya sembari melangkah keluar. “Alhamdulillah, saya baru membaca 20.000,00 jilid buku!” jawab si Syaikh tenang. Begitulah dia si Syaikh yang satu ini. Dia termasuk ulama termasyur sekaligus produktif dalam catatan sejarah dunia. Dia bernama Syaikh Ibnul Qayyium Al Jauziyah.

Ikhwah Fillah! Murid beliau bernama Syaikh Muhammad Al Ghozali, yang merupakan guru dari Syaikh Yusuf Qordawi, juga merupakan ulama dan penulis termasyur. Dalam suatu pengajian Syaikh Muhammad Al Ghozali berkata: Dalam hidup ini hanya ada dua pilihan. Pertama, menjadi bagian dalam menciptakan fikroh(Pemikiran). Kedua, dipaksa mengikuti fikroh.

Mari kita kupas satu persatu. Menjadi bagian dalam menciptakan fikroh. Sejarah mencatat, orang-orang yang terlibat dalam bagian ini, dialah yang dikenal sebagai motor sebuah Peradaban. Kenalkah kita dengan Karl Lar March dengan karyanya Das Capital. Buku ini adalah biang keladi munculnya system kapitalisme, dan zionisme oleh Israel di dunia ini. Dimana orang-orang eropa terobsesi untuk menjadi penjajah dengan tujuan utama mereka adalah Gold, Glory , dan Gospel. Dan zionisme Israel bercita-cita menjadi penguasa tunggal dunia dengan menjadikan amerika sebagai kaki tangannya.

Pernahkah kita mendengar kata ‘Samurai’. Ya, lebih tepatnya Novel Samurai. Di Jepang, novel ini menjadi bacaan wajib warga negaranya mulai dari anak-anak SD hingga tingkat Perguruan Tinggi. Dan yang mencengangkan lagi adalah Novel ini dikukuhkan sebagai kitab kedua setelah kitab agama Shinto. Dipaksa mengikuti fikroh. Ya, lebih dan kurang bisa kita amati langsung. Mulai dari media, baik media cetak maupun media elektronik.

Pemikiran-pemikiran mereka(Baca Yahudi dan nasrani) tiap hari menjadi santapan kaum muslimin. Dan , anehnya, kita hanya menjadi konsumer terbesar. Tidak mampu menjadi produser. Majalah Times, majalah forbes lebih diagung-agungkan oleh banyak kaum muslimin ketimbang majalah islam sendiri. Padahal, majalah itu tepatnya buat orang Amerika dan Eropa. Berbagai pemikiran kapitalisme, liberalisme, dan sekulerisme lebih dominan di benak kaum muslimin daripada konsep pemikiran islami dalam dirinya.

Saudaraku, kenyataannya memang begitu, kaum muslimin menjadi pengikut setia pemikiran orang lain. Kita menjadi pengikut trend dan mode orang lain. Hal ini perlu menjadi renungan kita semua.

Ikhwah Fillah! Meneropong ke masa lalu. Kejayaan islam dulunya ditandai dengan berkembang pesatnya berbagai keilmuan kaum muslimin. Sehinga kita kenal sangat banyak ilmuwan muslim dengan berbagai disiplin ilmu. Seperti Ibnu Zina, Innaribayan, Ibnu Rusyid, Ibnu khaldun, Ibnu Rayhan, dkk. Satu catatan penting adalah mereka semua adalah MENULIS. Di zaman khalifah Ar rasyid, Khalifah Al makmun dan beberapa periode setelah khalifah Al makmun. Para penulis sangat dihormati. Berat sebuah buku apa saja dihargai dengan berat emas. Sekarang??? He hehe, Fee untuk penulis professional 15 persen dari harga buku. Sudah lumayan!

Ikhwah Fillah! Mari kita menulis seperti Syaikh Ibnul Qoyyum Al Jauziyah menulis. Menulis untuk mengangungkan Allah SWT, menyelamatkan aqidah umat, dan menjaga kehormatan umat. Bila kita yakin dan istiqomah dengan prinsip diatas, tidaklah perlu kita khawatir dengan penghidupan dunia kita. Sejarah mencatat, belum ada penulis yang miskin di dunia ini. Mereka hidup serba berkecukupan, karena Allah menjamin rezki orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Mereka adalah orang terkaya, Orang yang kaya ilmu, yang selalu menyumbangkan ilmu tanpa habis-habisnya.

{Tiga orang yang selalu mendapatkan pertolongan Allah tiada henti-hentinya adalah mujahid yang membela agama Allah, PENULIS yang mencerahkan, dan pemuda yang menyegerakan menikah untuk menjaga kehormatan diri.} (HR Ahmad)